Ekpedisi Desa Multikultural di Penghujung Semester Tujuh

     Desa Ngadas menjadi pilihan tepat untuk menggali informasi lebih dalam mengenai tradisi unik suku Tengger yang ada di wilayah Jawa Timur. Tiga minggu menjelang Ujian Akhir Semester (UAS) mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) semester tujuh khususnya International Class Program (ICP) Bahasa Inggris sudah merencanakan agenda untuk penelitian ke sana. Namun, hanya sebelas orang yang ikut serta dalam kegiatan yang dijadikan sebagai bahan untuk menyelesaikan tugas UAS matakuliah Pendidikan Jurnalistik ini.

     Awal bulan Desember, Selasa (3/12) menjadi hari yang paling penting bagi kami untuk melakukan penelitian di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Pagi itu, usai shalat shubuh mataku masih terasa berat untuk aku buka lebar-lebar. Tetapi mataku seketika terbelalak saat membaca short message service (SMS) dari sang kapten kelas ICP-ku, Wawan. Dia menginformasikan bahwa teman-teman ICP agar segera berkumpul di depan gedung Microteaching pukul 06.00 WIB supaya tepat pada jam 07.00 WIB kami sudah berangkat dari pasar Tumpang beserta Bapak Abdul Muntholib menuju Ngadas. Akupun bergegas ke kamar mandi, setelah itu segera mengenakan hem lengan panjang Orange serta jilbab yang senada dengan warna bajuku, dan tak lupa memakai jas almamater kampusku tercinta. Akupun berangkat ke kampus dengan keadaan perut yang masih kosong. Dua puluh menit kemudian aku sampai di depan tempat janjian yang telah disepakati teman-teman sekelas. Saat itu, beberapa anak sudah berkumpul, mereka adalah Uswah dan Wawan yang sudah stand by di depan gedung kuliah kami. Beberapa menit kemudian satu per satu teman-temanku berdatangan. Hingga hampir satu jam, kami menunggu teman-teman yang lain untuk berkumpul, tetapi tak kunjung juga datang. Akhirnya waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB, menandakan bahwa rencana berangkat kami molor dari jadwal yang ditentukan. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah dan akhirnya kami berangkat dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang menuju pasar Tumpang, tempat Bapak Tholib menunggu kami. Diiringi awan mendung yang menyelimuti langit serta gerimis yang mengguyur pagi itu tak membuat kami merasa patah semangat untuk meneruskan perjalanan panjang kami dalam semester tujuh ini. Kamipun berhenti di POM bensin depan pertigaan Lanud Abdurrahman Saleh untuk mengisi bahan bakar motor yang kami kendarai. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi penelitian yang hendak kami tuju.
     Puluhan kilometer yang telah kami lewati mulai terasa ketika hawa dingin merasuk ke dalam pori-pori kulit yang membuat badan ini menjadi sedikit kedinginan dari suhu sebelumnya. Hawa dingin ini mulai terasa ketika memasuki Desa Gubuk Klakah, Kecamatan Poncokusumo. Pemandangan sawah, ladang, kebun apel, serta pemukiman penduduk mewarnai sepanjang perjalanan kami saat itu. Setelah jauh melewati tempat pemukiman warga, mulai terlihatlah di sebelah kanan kiriku pemandangan bukit, lereng gunung, serta jurang yang dalam. Sebelas orang menggunakan 8 motor beserta Pak Tholib melaju beriringan dan saling berhati-hati dalam berkendara. Dalam hati kecilku, akupun merasa takut ketika sudah memasuki hutan, karena jalan yang kami lalui tak begitu lebar, cukup terjal, masih bebatuan, tetapi setelah itu jalan yang kami lalui sudah mulai pavingan serta menanjak hingga mencapai kemiringan 70⁰. Aku yang saat itu dibonceng oleh mbak Farida sedikit takut, karena ketika dia kagum terpesona akan keindahan pemandangannya, dia menjadi sedikit tidak fokus mengemudikan motornya. Jalan yang sempit, sebelah kanan kiri terlihat jurang, sesekali aku mengatakan kepadanya “mbak Fa, inget lho ya, fokus.. fokus.., jangan liat pemandangan kanan kiri!.”. Motor yang dikendarai mbak Fa ini sempat tidak kuat menanjak, padahal sudah menggunakan gigi 2 sesuai tulisan yang disarankan di papan pinggir jalan yang kami lalui. Alhasil, akupun berinisiatif turun untuk jalan kaki sampai ke tempat yang sekiranya sudah agak tidak menanjak, kemudian aku naik lagi.
     Setelah melewati hutan yang begitu mendebarkan, serta pemandangan yang sempat diselimuti kabut, akhirnya sampai juga di Desa Ngadas pukul 09.12 WIB disambut teriknya matahari yang hanya sebentar memunculkan sinarnya. Kamipun berhenti di depan gapura yang bertuliskan Selamat Datang di Desa Ngadas untuk berfoto sejenak mengabadikan momen dengan pemandangan bukit dan lereng yang indah. Setelah itu kami melaju ke balai desa Ngadas yang hanya berjarak satu kilometer dari gapura tersebut. Setiba di lokasi, rombongan kami disambut dengan senang hati oleh Bapak Mujianto, selaku kepala desa Ngadas. Satu teman dari kami yaitu Fahmi datang terlambat ke lokasi 15 menit setelah kami datang. Warga masyarakat suku Tengger Ngadas saat itu sudah mulai beraktivitas dengan kegiatan mereka masing-masing. Nampak terlihat kebanyakan dari penduduk asli suku Tengger ini memakai sarung dalam kesehariannya, hal ini dikarenakan sudah menjadi budaya masyarakat Ngadas. Memang temperatur suhu di daerah ini sangat dingin melebihi temperatur suhu di Batu, hal ini yang membuat rombongan kami merasa sudah kedinginan pagi itu. Sambil menunggu bapak wakil dukun, bapak Kepala Desa, beserta perangkatnya berkumpul, rombongan kami duduk di depan kantor Kepala Desa Ngadas sambil menikmati camilan yang kami bawa sempat kami beli ketika sampai di Pasar Tumpang.
     Udara yang dingin membuat kami cukup kedinginan, matahari yang bersinar tak lama sempat membantu menghangatkan badan kami meskipun hanya setengah jam, kemudian cuaca kembali lagi mendung dan berkabut. Tepat pukul 10.00 WIB kami memasuki Balai Desa Ngadas yang ketika itu masih dalam proses pembangunan, beberapa menit kemudian acara Talkshow dimulai oleh Pak Tholib selaku dosen kami pengampu matakuliah Pendidikan Jurnalistik. Bapak Mujianto selaku kepala desa Ngadas dan Bapak Ngatono selaku wakil dukun bidang sejarah menjadi pembicara dalam acara ini.
     Bapak Mujianto mengawali topik pembicaraannya dengan menjelaskan bahwa budaya suku Tengger masih dipegang teguh oleh masyarakat Desa Ngadas sampai saat ini. Beliau masih 6 bulan menjabat sebagai kepala desa Ngadas, sejak dilantik pada 29 Mei 2013 lalu. Sosok yang arif bijaksana dalam memimpin, berwawasan luas, serta mempunyai komitmen tidak akan mengubah sedikitpun tradisi suku Tengger Ngadas ini dicalonkan masyarakat Ngadas menjadi kepala desa yang tidak mengeluarkan uang sepeserpun dalam pemilihan kepala desa, karena semua ditanggung oleh masyarakat desa setempat. Hal ini adalah salah satu fenomena yang berbeda dari cara pemilihan umum seperti yang biasa dilakukan. Dalam isi pembicaraan Bapak Mujianto, disebutkan bahwa Desa Ngadas ini berbatasan dengan tiga kabupaten. Yakni sebelah timur adalah Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, sebelah barat yakni Desa Gubugklakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, sebelah utara yakni Desa Ngadireso, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, dan sebelah selatan yakni Desa Raupani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Beliau menambahkan bahwa Desa Ngadas ini terdiri dari dua dusun, yakni Dusun Ngadas yang berjumlah 1.372 penduduk jiwa, dan Dusun Jarak Ijo yang berjumlah 480 penduduk jiwa, yang kedua wilayahnya mencapai 395 hektar. Jumlah itu di antaranya meliputi lahan pertanian mencapai 381 hektar dan pemukiman penduduk yang hanya 14 hektar. Dari jumlah penduduk tersebut, ada tiga agama yang dianut oleh masyarakat suku Tengger Ngadas, yakni agama Islam, Hindu, dan Budha. Bapak Mujianto menegaskan bahwa dari perbedaan keyakinan inilah yang menjadi pengikat adanya budaya adat yang ada. Beberapa tempat ibadah ada di desa ini, ada tiga masjid, tiga mushalla, satu pura, dan satu wihara.
     Untuk masalah bidang pendidikan, desa Ngadas hanya mempunyai satu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), satu Taman Kanak-kanak (TK) Dharma Wanita, dua Sekolah Dasar (SD), dan satu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 atau biasa disebut SMP satu atap oleh warga sekitar.
Tradisi-tradisi yang ada maupun hasil musyawarah yang dilakukan warga masyarakat Ngadas yang tidak tertulis tetap dijadikan sebagai kebijakan yang ada di desa ini, khususnya masalah keamanan. Misalnya saja jika ada masyarakat yang mencuri rumput, maka dikenakan sanksi dengan membayar satu sak semen diserahkan untuk desa dan satu sak pupuk diserahkan untuk pemilik rumput tersebut. Untuk masalah perzinaan, misalnya jika ada pasangan suami istri yang tertangkap basah melakukan perselingkuhan, maka dikenakan sanksi membayar 100 sak semen diserahkan untuk desa. Jika ada seorang istri selingkuh dengan seorang bujangan, maka masing-masing pihak wajib memberikan 50 sak untuk desa yang digunakan untuk pembangunan desa, seperti perbaikan jalan.
     Pak Mujianto menjelaskan bahwa di Ngadas ini ada tradisi Petekan yaitu semacam tes keperawanan yang dilakukan tiga bulan sekali diperuntukkan bagi perempuan yang masih perawan dan janda. Tradisi ini telah berlangsung sejak 1955 hingga sekarang yang bertujuan untuk mengurangi adanya pergaulan bebas maupun kenakalan remaja yang kerap sekali terjadi saat ini. Di samping itu untuk juga bertujuan untuk mengatur jam bertamu yang dilakukan tidak boleh melebihi jam 9 malam. Jika ada yang melanggar, maka dikenakan sanksi dengan menyapu seluruh wilayah kampung pada pagi hari, serta dikontrol linmas dan hansip. Beberapa gejala alam bisa terjadi dan dapat disimpulkan bahwa ada orang yang hamil di luar nikah, maka imbas yang terjadi adalah ketika orang lain ikut merasakan ngidam, ada juga wabah penyakit yang diserang adalah anak kecil, dan gejala ayam yang berkokok pada jam 8 sampai 11 malam. Dan jika ada yang ditemukan melakukan pengguguran jabang bayi, maka timbul gejala wabah penyakit bahkan ada yang salah satu warga desa tersebut mendadak meninggal dunia.
     Desa Ngadas ini merupakan desa Kedewan, yakni di mana warga masyarakat tidak boleh sembarangan dalam bertingkah laku, maka harus memperhatikan adab, cara bicaranya juga harus ditata, dan tidak boleh srah sroh (kasar).
Dilanjutkan pembicara kedua oleh Bapak Ngatono, selaku wakil mbah dukun bidang sejarah di suku Tengger Ngadas. Beliau mengucapkan salam kepada kami, yaitu salam khas suku Tengger “Hong Mandero Ulun Basuki Langgeng”, yang dijawab dengan “Langgeng Basuki”. Salam ini mempunyai arti bahwa semoga wahai anak Tuhan selamat selama-lamanya.
     Beliau menjelaskan bahwa ada empat belas poin adat yang dibudayakan di Ngadas ini, antara lain yang sebelumnya beliau menyebutkan semboyan masyarakat suku Tengger ini, Becik Ketitik, Tenger Ketenger, Ala Ketara, Goroh Growah. Ini mempunyai arti bahwa segala perbuatan yang salah dan benar maka akan segera terlihat benar salahnya seiring berjalannya waktu. Keempat belas poin budaya ini antara lain: pertama, budaya unggah ungguh (sopan santun) yang harus senantiasa terjaga di dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat suku Tengger. Kedua, budaya kerukunan di dalam berumah tangga, misalnya bagaimana menciptakan suasana di lingkungan rumah tangga agar tetap rukun dan exist, dengan rasa welas asih. Ketiga, Budaya welas asih, misalnya yang dilakukan warga ketika ada seorang tetangga yang meninggal, maka seluruh warga tidak beraktivitas pada pekerjaan masing-masing, melainkan berbela sungkawa ke rumah duka dengan membawa barang atau jasa tenaga untuk membantu pihak keluarga yang ditinggalkan. Keempat budaya ritual pribadi, budaya ini meliputi tradisi saat hendak kelahiran seseorang, dengan mengadakan acara 7 bulanan disertai pembacaan mantra saat mengubur ari-ari jabang bayi. Kemudian saat terjadi kematian seseorang, maka warga masyarakat merituali leluhur yang sudah meningggal yang dinamai “entas-entas”. Kelima, budaya ritual umum, yakni upacara-upacara seperti bujang yang dilakukan di rumah dukun, upacara Karo dilakukan satu tahun sekali di rumah kepala desa, upacara unan-unan dilakukan 5 tahun-6 tahun yang dilakukan di rumah kepala desa setempat. Keenam, budaya disik secara pribadi, yakni meliputi pembangunan rumah. Ketujuh, budaya fisik secara umum, seperti pada pembangunan jalan, sekolah, balai desa, mengambil air di sungai juga harus melalui ritual. Kedelapan, budaya berbusana “nyandhang nganggo”, laki-laki mengenakan baju hitam potongan kerah duduk, dan memakai selembar udeng, serta wanita memakai jarik sekar jagad. Kemudian budaya gotong royong, budaya keamanan, budaya kesenian yakni jaran joget, seni ujung, dan tayub. Begitulah sekilas penjelasan dari bapak wakil dukun suku Tengger Ngadas. Beberapa mahasiswa rombongan kami diberikan kesempatan untuk bertanya langsung kepada bapak-bapak tersebut guna menggali dan mendapatkan informasi yang sangat berguna bagi kami.
     Dua jam berlalu begitu cepat, karena jam sudah menunjukkan pukul 12.05 WIB. Itulah tandanya kami harus segera pulang. Sebelum pulang, kami semua mengucapkan terima kasih kepada bapak Kepala Desa beserta perangkatnya karena telah menerima kami dengan senang hati. Tak lupa kami menyempatkan untuk berfoto bersama beliau-beliau.
     Perjalanan pulangpun diiringi dengan kabut tebal yang tetap dengan suhu udaranya yang masih sangat dingin membuat kami kedinginan. Kami selalu tetap berhati-hati dan waspada dengan jalan yang berliku-liku.
     Sesampai di kota Malang, tepat pukul 15.00 WIB. Kamipun pulang menuju rumah masing-masing dengan sangat lelah. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Tata Lingkungan Sekolah yang Kondusif

Pesantren Educational System and Social Transformation